Kamis, 02 April 2009

Hati adalah Cermin Kita

Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal darah, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya. Apabila ia buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya ( alaa wahiyal qolbu ) ia adalah hati”.


( HR. Bukhori wa Muslim )
Pada awalnya setiap manusia memiliki sebuah hati yang bersih. Mereka dilahirkan kedunia dengan keadaan suci tanpa membawa suatu dosa. Sebagaimana sabda rasulullah Muhammad saw bahwa setiap bayi yang dilahirkan ke dunia dalam keadaan fitrah. Namun seiring dengan berjalananya waktu dan bertambahnya usia manusia, hati mulai dipenuhi oleh berbagai hal yang berasal dari luar, baik yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif. Apabila hati dipenuhi oleh berbagai hal yang positif maka yang akan muncul dari pribadinya adalah sifat-sifat baik seperti kasih sayang, suka menolong, peduli terhadap sesama dan berbagai tindakan positif lainnya, yang tidak hanya menguntungkan bagi dirinya saja tetapi juga bagi orang di sekitarnya, insyaallah.

Lain halnya jika hati ternodai oleh sifat-sifat buruk, pikiran-pikiran negatif dan lain sebagainya. Tentu hal-hal tercelalah yang akan mendominasi kepribadiannya. Dan ini jelas tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi orang disekitarnya akan merasakan imbas dari perilaku buruknya.

Hati, menurut imam al ghozali dalam kitabnya, ihya ulummudiin, umpama prajurit pemburu. Badan adalah kendaraan (kuda) nya, sedangkan kemarahan dan syahwat adalah anjing-anjingnya. Maka tatkala kuda dan anjing-anjing itu tunduk kepadanya. Tercapailah apa yang ditujunya. Begitu pula tatkala qolbu itu mampu mengendalikan badan, kemarahan, dan syahwat, maka seseorang tersebut telah mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya yaitu ketentraman jiwa yang akan mengantarkannya pada kehidupan bahagia baik di dunia maupun diakhirat.

Masih menurut imam al Ghazali, hati ibarat sebuah cermin yang apabila cermin itu bersih maka akan tampak padanya sifat-sifat manusia. namun, ketika cermin itu tertutup oleh debu atau bahkan telah berkarat, sedangkan tidak ada yang menggosoknya, maka ia tidak akan bisa melihat perbuatannya itu baik atau buruk. Sehingga sulit baginya tuk melakukan perbaikan, karena ia tidak tahu dan sadar akan sikap buruk yang ia lakukan.

Sebaliknya, dengan cermin yang bersih, dengan hati yang bersih kita bisa melihat perbuatan kita, apakah itu baik atau buruk. Hal ini akan mempermudahkan kita tuk melakukan perbaikan setiap saat. Bagaimana caranya? Bisa dengan melakukan introspeksi diri. Dan inilah kiranya cara ampuh tuk menjaga hati agar tetap bersih. Terus apa manfaatnya ketika kita melakukan introspeksi diri? Minimal kita mampu melihat apa kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat dimasa lalu atau yang baru saja terjadi. Hal ini akan menuntun kita untuk senantiasa melakukan perbaikan diri. Sehingga kualitas iman menjadi lebih baik dan bermakna.

Bagaimana dengan cermin yang berkarat? Apa yang bisa kita andalkan dari sebuah cermin yang telah berkarat. Ia tidak lagi memiliki nilai yang lebih. Malah bisa digolongkan sebagai barang rongsokan. Mengapa? Karena memang ia tidak lagi berfungsi baik sebagai sebuah cermin yang digunakan tuk bercermin. Jika hati manusia seperti cermin berkarat, yang tidak bisa digunakan untuk berinstrospeksi tentu akan susah baginya untuk mengidentifikasi apakah perbuatannya itu Benar ataukah salah.

Inilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah saw, “sesungguhnya hati itu berkarat seperti besi yang berkarat”. Ketika seorang sahabat bertanya: “Bagaimana menghilangkannya?” Beliau menjawab, “Mengingat mati dan membaca Al Qur’an”

Untuk bisa melewati syirat, seorang manusia membutuhkan modal dasar untuk melangkah menuju surga. Dan modal dasar itu tak lain adalah Qolbu. Qolbu atau hati yang bersih dan suci menjadikan sang pemiliknya melakukan ibadah dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan. Segala ibadah yang dilakukannya semata-mata untuk mengharapkan ridho Allah ta’ala. pikirannya jauh dari prasangka-prasangka buruk terhadap Tuhannya. Saat beribadah, ia selalu merasa bahwa Allah senantiasa mengawasinya, sehingga ia akan dengan sepenuh hati menjaga kualitas ibadahnya.

Rasulullah bertanya pada para sahabat, “Apakah yang dimaksud dengan ihsan?” rasulullah menjawab, “ Beribadahlah kepada Allah azza wa Jalla seakan-akan engkau melihatNya dan seandainya engkau tidak dapat melihatNya engkau yakin bahwa Dia melihatmu. (HR. Bukhori dan Muslim)

Sebuah syair yang indah dari Yahya bin Muadz Ar Razi ra. Menggambarkan tentang betapa besarnya peranan hati terkadap kehidupan manusia.

Beliau bersyair:

“ Padang di dunia ditempuh dengan jalan kaki dan padang di akhirat di tempuh dengan hati.”

“ Barang siapa yang memusatkan hatinya kepada Allah, niscaya akan terbukalah sumber-sumber hikmah dalam hatinya dan mengalir melalui lisannya”



Demikianlah bagaimana Allah menciptakan segumpak darah (hati) dan menaruhnya di dalam dada manusia agar manusia benar-benar menjaganya. Karena ia adalah kunci pembuka pintu surga.

Sebagaimana syair diatas, bahwa perjalanan ke akhirat pun harus ditempuh dengan hati tidak bisa dengan hanya bermodalkan dua kaki yang kecil. Tujuan yang besar harus ditempuh dengan modal yang besar pula. Yaitu dengan menjaga hati agar tetap bersih, tidak tercampur dengan noda-noda maksiat.

Semoga Allah senantiasa mengaruniakan hati yang senantiasa bersih dan memberikan kekuatan sabar pada diri kita agar bisa melawan hawa nafsu yang senantiasa berkecamuk dalam hati. Amin